Kode Etik Psikologi Indonesia
Kode Etik Psikologi Indonesia
Kode Etik Psikologi merupakan hasil nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Berdasarkan nilai luhur tersebut Pendidikan Tinggi Psikologi telah menghasilkan Psikolog dan Ilmuwan Psikologi yang senantiasa menghargai dan menghormati harkat maupun martabat manusia serta menjunjung tinggi terpeliharanya hak-hak asasi manusia. Oleh karena itu, Psikolog dan Ilmuwan Psikologi selalu melandaskan adap aynnataigek malad tubesret ialin-ialin adap iridbidang pendidikan, penelitian, pengabdian diri serta pelayanan dalam rangka meningkatkan pengetahuan tentang perilaku manusia, baik dalam bentuk pemahaman bagi dirinya maupun pihak lain, serta memanfaatkan pengetahuan dan kompetensinya bagi kesejahteraan umat manusia.
BAB I
PEDOMAN UMUM
Pasal 1 Pengertian
(1) KODE ETIK PSIKOLOGI
adalah seperangkat nilai-nilai untuk ditaati dan dijalankan dengan
sebaik-baiknya dalam melaksanakan kegiatan sebagai psikolog dan ilmuwan
psikologi di Indonesia.
(2) PSIKOLOGI merupakan ilmu yang berfokus pada perilaku dan proses mental yang melatarbelakangi, serta penerapan dalam kehidupan manusia. Ahli dalam ilmu Psikologi dibedakan menjadi 2 kelompok yaitu profesi atau yang berkaitan dengan praktik psikologi dan ilmu psikologi termasuk dalam hal ini ilmu murni atau terapan.
(3) PSIKOLOG adalah lulusan pendidikan profesi yang berkaitan dengan praktik psikologi dengan latar belakang pendidikan Sarjana Psikologi lulusan program pendidikan tinggi psikologi strata 1 (S1) sistem kurikukum lama atau yang mengikuti pendidikan tinggi psikologi strata 1 (S1) dan lulus dari pendidikan profesi psikologi atau strata 2 (S2) Pendidikan Magister Psikologi (Profesi Psikolog). Psikolog memiliki kewenangan untuk memberikan layanan psikologi yang meliputi bidang-bidang praktik klinis dan konseling; penelitian; pengajaran; supervisi dalam pelatihan, layanan masyarakat, pengembangan kebijakan; intervensi sosial dan klinis; pengembangan instrumen asesmen psikologi; penyelenggaraan asesmen; konseling; konsultasi organisasi; aktifitasaktifitas dalam bidang forensik; perancangan dan evaluasi program; serta administrasi. Psikolog DIWAJIBKAN MEMILIKI IZIN PRAKTIK PSIKOLOGI sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
(4) ILMUWAN PSIKOLOGI adalah ahli dalam bidang ilmu psikologi dengan latar belakang pendidikan strata 1 dan/ atau strata 2 dan/atau strata 3 dalam bidang psikologi. Ilmuwan psikologi memiliki kewenangan untuk memberikan layanan psikologi yang meliputi bidang-bidang penelitian; pengajaran; supervisi dalam pelatihan; layanan masyarakat; pengembangan kebijakan; intervensi sosial; pengembangan instrumen asesmen psikologi; pengadministrasian asesmen; konseling sederhana;konsultasi organisasi; perancangan dan evaluasi program. Ilmuwan Psikologi dibedakan dalam kelompok ilmu murni (sains) dan terapan.
(5) LAYANAN PSIKOLOGI adalah segala aktifitas pemberian jasa dan praktik psikologi dalam rangka menolong individu dan/ atau kelompok yang dimaksudkan untuk pencegahan, pengembangan dan penyelesaian masalah-masalah psikologis. Layanan psikologi dapat berupa praktik konseling dan psikoterapi; penelitian; pengajaran; supervisi dalam pelatihan; layanan masyarakat; pengembangan kebijakan; intervensi sosial dan klinis; pengembangan instrument asesmen psikologi; penyelenggaraan asesmen; konseling karir dan pendidikan; konsultasi organisasi; aktifitas-aktifitas dalam bidang forensik; perancangan dan evaluasi program; dan administrasi.
Pasal 2
Prinsip Umum
Prinsip A: Penghormatan pada
Harkat Martabat Manusia
(1) Psikolog dan/ atau Ilmuwan Psikologi harus menekankan pada hak asasi manusia dalam melaksanakan layanan psikologi.
(2) Psikolog dan/ atau Ilmuwan Psikologi menghormati martabat setiap orang serta hak-hak individu akan keleluasaan pribadi, kerahasiaan dan pilihan pribadi seseorang.
(3) Psikolog dan/ atau Ilmuwan Psikologi menyadari bahwa diperlukan kehati-hatian khusus untuk melindungi hak dan kesejahteraan individu atau komunitas yang karena keterbatasan yang ada dapat mempengaruhi otonomi dalam pengambilan keputusan.
(4) Psikolog dan/ atau Ilmuwan Psikologi menyadari dan menghormati perbedaan budaya, individu dan peran, termasuk usia, gender, identitas gender, ras, suku bangsa, budaya, asal kebangsaan, orientasi seksual, ketidakmampuan (berkebutuhan khusus), bahasa dan status social ekonomi, serta mempertimbangkan faktor-faktor tersebut pada saat bekerja dengan orang-orang dari kelompok tersebut.
(5) Psikolog dan/ atau Ilmuwan Psikologi berusaha untuk menghilangkan pengaruh bias faktor-faktor tersebut pada butir (3) dan menghindari keterlibatan baik yang disadari maupun tidak disadari dalam aktifitas-aktifitas yang didasari oleh prasangka.
Prinsip B: Integritas dan
Sikap Ilmiah
(1) Psikolog dan/ atau
Ilmuwan Psikologi harus mendasarkan pada dasar dan etika ilmiah terutama pada
pengetahuan yang sudah diyakini kebenarannya oleh komunitas psikologi.
(2) Psikolog dan/ atau
Ilmuwan Psikologi senantiasa menjaga ketepatan, kejujuran, kebenaran dalam
keilmuan, pengajaran, pengamalan dan praktik psikologi.
(3) Psikolog dan/ atau
Ilmuwan Psikologi tidak mencuri, berbohong, terlibat pemalsuan (fraud), tipuan
atau distorsi fakta yang direncanakan dengan sengaja memberikan fakta-fakta
yang tidak benar.
(4) Psikolog dan/ atau
Ilmuwan Psikologi berupaya untuk menepati janji tetapi dapat mengambil
keputusan tidak mengungkap fakta secara utuh atau lengkap HANYA dalam situasi
dimana tidak diungkapkannya fakta secara etis dapat dipertanggungjawabkan untuk
meminimalkan dampak buruk bagi pengguna layanan psikologi.
(5) Psikolog dan/ atau
Ilmuwan Psikologi memiliki kewajiban untuk mempertimbangkan kebutuhan,
konsekuensi dan bertanggung jawab untuk memperbaiki ketidakpercayaan atau
akibat buruk yang muncul dari penggunaan teknik psikologi yang digunakan.
Prinsip C : Profesional
(1) Psikolog dan/ atau
Ilmuwan Psikologi harus memiliki kompetensi dalam melaksanakan segala bentuk
layanan psikologi, penelitian,pengajaran, pelatihan, layanan psikologi dengan
menekankan pada tanggung jawab, kejujuran, batasan kompetensi, obyektif dan
integritas.
(2) Psikolog dan/ atau
Ilmuwan Psikologi membangun hubungan yang didasarkan pada adanya saling
percaya, menyadari tanggungjawab profesional dan ilmiah terhadap pengguna
layanan psikologi serta komunitas khusus lainnya.
(3) Psikolog dan/ atau
Ilmuwan Psikologi menjunjung tinggi kode etik, peran dan kewajiban profesional,
mengambil tanggung jawab secara tepat atas tindakan mereka, berupaya untuk
mengelola berbagai konflik kepentingan yang dapat mengarah pada eksploitasi dan
dampak buruk.
(4) Psikolog dan/ atau
Ilmuwan Psikologi dapat berkonsultasi, bekerjasama dan/atau merujuk pada teman
sejawat, profesional lain dan/atau institusi-institusi lain untuk memberikan
layanan terbaik kepada pengguna layanan psikologi.
(5) Psikolog dan/ atau
Ilmuwan Psikologi perlu mempertimbangkan dan memperhatikan kepatuhan etis dan
profesional kolega-kolega dan/ atau profesi lain.
(6) Psikolog dan/ atau
Ilmuwan Psikologi dalam situasi tertentu bersedia untuk menyumbangkan sebagian
waktu profesionalnya tanpa atau dengan sedikit kompensasi keuntungan pribadi.
Prinsip D : Keadilan
(1) Psikolog dan/ atau
Ilmuwan Psikologi memahami bahwa kejujuran dan ketidakberpihakan adalah hak
setiap orang. Oleh karena itu, pengguna layanan psikologi tanpa dibedakan oleh
latarbelakang dan karakteristik khususnya, harus mendapatkan layanan dan
memperoleh keuntungan dalam kualitas yang setara dalam hal proses, prosedur dan
layanan yang dilakukan.
(2) Psikolog dan/ atau
Ilmuwan Psikologi menggunakan penilaian yang dapat dipertanggungjawabkan secara
profesional, waspada dalam memastikan kemungkinan bias-bias yang muncul,
mempertimbangkan batas dari kompetensi, dan keterbatasan keahlian sehingga tidak
mengabaikan atau mengarah kepada praktik-praktik yang menjamin
ketidakberpihakan.
Prinsip E : Manfaat
(1) Psikolog dan/ atau
Ilmuwan Psikologi berusaha maksimal memberikan manfaat pada kesejahteraan umat
manusia, perlindungan hak dan meminimalkan resiko dampak buruk pengguna layanan
psikologi serta pihak-pihak lain yang terkait.
(2) Psikolog dan/ atau
Ilmuwan Psikologi apabila terjadi konflik perlu menghindari serta meminimalkan
akibat dampak buruk; karena keputusan dan tindakan-tindakan ilmiah dari
Psikolog dan/ atau Ilmuwan Psikologi dapat mempengaruhi kehidupan pihak-pihak
lain.
(3) Psikolog dan/ atau
Ilmuwan Psikologi perlu waspada terhadap kemungkinan adanya faktor-faktor
pribadi, keuangan, sosial, organisasi maupun politik yang mengarah pada
penyalahgunaan atas pengaruh mereka.
BAB II
MENGATASI ISU ETIKA
Pasal 3
Majelis Psikologi Indonesia
(1) Majelis Psikologi adalah penyelenggara organisasi yang memberikan
pertimbangan etis, normative maupun keorganisasian dalam kaitan dengan profesi
psikologi baik sebagai ilmuwan maupun praktik psikologi kepada anggota maupun
organisasi.
(2) Penyelesaian masalah pelanggaran Kode Etik Psikologi Indonesia oleh
Psikolog dan/ atau Ilmuwan Psikologi, dilakukan oleh Majelis Psikologi dengan
memperhatikan laporan yang masuk akal dari berbagai pihak dan kesempatan untuk
membela diri.
(3) Apabila Psikolog dan/
atau Ilmuwan Psikologi telah
melakukan layanan Psikologi sesuai prosedur yang diatur dalam Kode Etik dan tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah ilmiah serta bukti-bukti empiris wajib mendapat perlindungan dari Himpunan Psikologi Indonesia dalam hal ini Majelis Psikologi Indonesia.
melakukan layanan Psikologi sesuai prosedur yang diatur dalam Kode Etik dan tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah ilmiah serta bukti-bukti empiris wajib mendapat perlindungan dari Himpunan Psikologi Indonesia dalam hal ini Majelis Psikologi Indonesia.
(4) Apabila terdapat masalah etika dalam pemberian layanan psikologi yang
belum diatur dalam kode etik psikologi Indonesia maka Himpunan Psikologi
Indonesia wajib mengundang Majelis Psikologi untuk membahas dan merumuskannya,
kemudian disahkan dalam sebuah Rapat yang dimaksudkan untuk itu.
Pasal 4
Penyalahgunaan di bidang Psikologi
(1) Setiap pelanggaran wewenang di bidang keahlian psikologi dan setiap
pelanggaran terhadap Kode Etik Psikologi Indonesia dapat dikenakan sanksi
organisasi sebagaimana diatur dalam Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga Himpunan
Psikologi Indonesia dan Kode Etik Psikologi Indonesia.
(2) Apabila Psikolog dan/ atau Ilmuwan Psikologi menemukan pelanggaran
atau penilaian salah terhadap kerja mereka, mereka wajib mengambil
langkah-langkah yang masuk akal sesuai dengan ketentuan yang berlaku untuk
memperbaiki atau mengurangi pelanggaran atau kesalahan yang terjadi.
(3) Pelanggaran kode etik psikologi adalah segala tindakan Psikolog dan/
atau Ilmuwan Psikologi yang menyimpang dari ketentuan yang telah dirumuskan
dalam Kode Etik Psikologi Indonesia. Termasuk dalam hal ini adalah pelanggaran
oleh Psikolog terhadap janji/ sumpah profesi, praktik psikologi yang dilakukan
oleh mereka yang bukan Psikolog, atau Psikolog yang tidak memiliki Ijin
Praktik, serta layanan psikologi yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku
dalam Kode Etik Psikologi Indonesia.
Pelanggaran sebagaimana dimaksud di atas adalah:
1) Pelanggaran ringan yaitu:
Tindakan yang dilakukan oleh seorang Psikolog dan/ atau Ilmuwan Psikologi
yang tidak dalam kondisi yang sesuai dengan standar prosedur yang telah
ditetapkan, sehingga mengakibatkan kerugian bagi salah satu tersebut di bawah
ini:
a) Ilmu psikologi
b) Profesi Psikologi
c) Pengguna Jasa layanan psikologi
d) Individu yang menjalani Pemeriksaan Psikologi
e) Pihak-pihak yang terkait dan masyarakat umumnya
2) Pelanggaran sedang yaitu:
Tindakan yang dilakukan oleh Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi karena
kelalaiannya dalam melaksanakan proses maupun penanganan yang tidak sesuai
dengan standar prosedur yang telah ditetapkan mengakibatkan kerugian bagi salah
satu tersebut di bawah ini:
a) Ilmu psikologi
b) Profesi Psikologi
c) Pengguna Jasa layanan psikologi
d) Individu yang menjalani Pemeriksaan Psikologi
e) Pihak-pihak yang terkait dan masyarakat umumnya
3) Pelanggaran berat yaitu:
Tindakan yang dilakukan oleh Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi yang
secara sengaja memanipulasi tujuan, proses maupun hasil yang mengakibatkan
kerugian bagi salah satu di bawah ini:
a) Ilmu Psikologi
b) Profesi Psikologi
c) Pengguna Jasa layanan psikologi
d) Individu yang menjalani Pemeriksaan Psikologi
e) Pihak-pihak yang terkait dan masyarakat umumnya
(4) Penjelasan tentang jenis pelanggaran dan sanksi akan diatur dalam
aturan tersendiri.
Pasal 5
Penyelesaian Isu Etika
(1) Apabila tanggungjawab etika psikologi bertentangan dengan peraturan
hukum, hukum pemerintah atau peraturan lainnya, Psikolog dan/ atau Ilmuwan
Psikologi harus menunjukkan komitmennya terhadap kode etik dan melakukan
langkah-langkah untuk penyelesaian konflik sesuai dengan yang diatur dalam Kode
Etik Psikologi Indonesia. Apabila konflik tidak dapat diselesaikan dengan cara
tersebut, Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi diharapkan patuh terhadap
tuntutan hukum, peraturan atau otoritas hukum lainnya yang berlaku.
(2) Apabila tuntutan organisasi dimana Psikolog dan/ atau Ilmuwan
Psikologi berafiliasi atau bekerja bertentangan dengan Kode Etik Psikologi
Indonesia, Psikolog dan/ atau Ilmuwan Psikologi wajib menjelaskan sifat dan
jenis konflik, memberitahu komitmennya terhadap kode etik dan jika memungkinkan
menyelesaikan konflik tersebut dengan berbagai cara sebagai bentuk tanggung
jawab dan kepatuhan terhadap kode etik.
(3) Pelanggaran terhadap etika profesi psikologi dapat dilakukan oleh
Psikolog dan/ atau Ilmuwan Psikologi, perorangan, organisasi pengguna layanan
psikologi serta pihak-pihak lain. Pelaporan pelanggaran dibuat secara tertulis
dan disertai bukti terkait ditujukan kepada Himpunan Psikologi Indonesia untuk
nantinya diserahkan kepada Majelis Psikologi Indonesia. Mekanisme pelaporan
secara detail akan diatur dalam mekanisme tersendiri.
(4) Kerjasama antara Pengurus Himpsi dan Majelis Psikologi Indonesia
menjadi bahan pertimbangan dalam penyelesaian kasus pelanggaran Kode Etik.
Kerjasama tersebut dapat dilakukan dalam pelaksanaan tindakan investigasi,
proses penyidikan dan persyaratan yang diperlukan untuk dapat mencapai hasil
yang diharapkan dengan memanfaatkan sistem di dalam organisasi yang ada. Dalam
pelaksanaannya diusahakan untuk menyelesaikan permasalahan yang ada dengan
tetap memegang teguh prinsip kerahasiaan.
(5) Apabila terjadi pelanggaran Kode Etik Psikologi Indonesia, Pengurus
Pusat bekerjasama dengan Pengurus Wilayah terkait dapat memberi masukan kepada
Majelis Psikologi Wilayah atau Pusat dengan prosedur sebagai berikut:
a) Mengadakan pertemuan guna membahas masalah tersebut
b) Meminta klarifikasi kepada pihak yang melakukan pelanggaran
c) Berdasarkan klarifikasi menentukan jenis pelanggaran
(6) Majelis Psikologi akan melakukan klarifikasi pada anggota yang
dipandang melakukan pelanggaran. Berdasarkan keterangan anggota yang
bersangkutan dan data-data lain yang berhasil dikumpulkan, maka Majelis
Psikologi akan mengambil keputusan tentang permasalahan pelanggaran tersebut.
(7) Jika anggota yang diputuskan melakukan pelanggaran oleh majelis
psikologi tidak puas dengan keputusan yang dibuat majelis, apabila dipandang
perlu, Pengurus Pusat bekerjasama dengan Pengurus Wilayah terkait dapat
mendampingi Majelis Psikologi untuk membahas masalah tersebut, baik kepada
anggota yang bersangkutan maupun untuk diumumkan sesuai dengan kepentingan.
Pasal 6
Diskriminasi yang Tidak Adil terhadap Keluhan
Himpunan Psikologi Indonesia dan Majelis Psikologi tidak menolak siapapun
yang mengajukan keluhan karena terkena pelanggaran etika. Keluhan harus di
dasarkan pada fakta-fakta yang jelas dan masuk akal.
BAB III
KOMPETENSI
Pasal 7
Ruang Lingkup Kompetensi
(1) Ilmuwan Psikologi memberikan layanan dalam bentuk mengajar, melakukan
penelitian dan/ atau intervensi sosial dalam area sebatas kompetensinya,
berdasarkan pendidikan, pelatihan atau pengalaman sesuai dengan kaidah-kaidah
ilmiah yang dapat dipertanggung jawabkan.
(2) Psikolog dapat memberikan layanan sebagaimana yang dilakukan oleh
Ilmuwan Psikologi serta secara khusus dapat melakukan praktik psikologi
terutama yang berkaitan dengan asesmen dan intervensi yang ditetapkan setelah
memperoleh ijin praktik sebatas kompetensi yang berdasarkan pendidikan,
pelatihan, pengalaman terbimbing, konsultasi, telaah dan/atau pengalaman
professional sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiah yang dapat
dipertanggungjawabkan.
(3) Psikolog dan/ atau Ilmuwan Psikologi dalam menangani berbagai isu
atau cakupan kasus-kasus khusus, misalnya terkait penanganan HIV/AIDS,
kekerasan berbasis gender, orientasi seksual, ketidakmampuan (berkebutuhan
khusus), atau yang terkait dengan kekhususan ras, suku, budaya, asli
kebangsaan, agama, bahasa atau kelompok marginal, penting untuk mengupayakan
penambahan pengetahuan dan ketrampilan melalui berbagai cara seperti pelatihan,
pendidikan khusus, konsultasi atau supervisi terbimbing untuk memastikan
kompetensi dalam memberikan pelayanan jasa dan/ atau praktik psikologi yang
dilakukan kecuali dalam situasi darurat sesuai dengan pasal yang membahas
tentang itu.
(4) Psikolog dan/ atau Ilmuwan Psikologi perlu menyiapkan langkah-langkah
yang dapat dipertanggungjawabkan dalam area-area yang belum memiliki standar
baku penanganan, guna melindungi pengguna jasa layanan psikologi serta pihak
lain yang terkait.
(5) Dalam menjalankan peran forensik, selain memiliki kompetensi
psikologi sebagaimana tersebut di atas, Psikolog perlu memahami hukum yang
berlaku di Indonesia, khususnya hukum pidana, sehubungan dengan kasus yang
ditangani dan peran yang dijalankan.
Pasal 8
Peningkatan Kompetensi
Psikolog dan/ atau Ilmuwan Psikologi wajib melaksanakan upaya-upaya yang
berkesinambungan guna mempertahankan dan meningkatkan kompetensi mereka.
Pasal 9
Dasar-Dasar Pengetahuan
Ilmiah dan
Sikap Profesional
(1) Psikolog dan/ atau Ilmuwan Psikologi dalam pengambilan keputusan
harus berdasar pada pengetahuan ilmiah dan sikap profesional yang sudah teruji
dan diterima secara luas atau universal dalam disiplin Ilmu Psikologi.
Pasal 10
Pendelegasian Pekerjaan
Pada Orang Lain
(1) Psikolog dan/ atau Ilmuwan Psikologi yang mendelegasikan pekerjaan
pada asisten, mahasiswa, mahasiswa yang disupervisi, asisten penelitian,
asisten pengajaran, atau kepada jasa orang lain seperti penterjemah; perlu
mengambil langkahlangkah yang tepat untuk:
a) Menghindari pendelegasian kerja tersebut kepada orang yang memiliki
hubungan ganda dengan yang diberikan layanan psikologi, yang mungkin akan
mengarah pada eksploitasi atau hilangnya objektivitas.
b) Memberikan wewenang hanya untuk tanggung jawab di mana orang yang
diberikan pendelegasian dapat diharapkan melakukan secara kompeten atas dasar
pendidikan, pelatihan atau pengalaman, baik secara independen, atau dengan
pemberian supervise hingga level tertentu; dan
c) Memastikan bahwa orang tersebut melaksanakan layanan psikologi secara
kompeten.
Pasal 11
Masalah dan Konflik Personal
(1) Psikolog dan/ atau Ilmuwan Psikologi menyadari bahwa masalah dan
konflik pribadi mereka akan dapat mempengaruhi efektifitas kerja. Dalam hal ini
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi mampu menahan diri dari tindakan yang dapat
merugikan pengguna layanan psikologi serta pihak-pihak lain, sebagai akibat
dari masalah dan/atau konflik pribadi tersebut.
(2) Psikolog dan/ atau Ilmuwan Psikologi berkewajiban untuk waspada
terhadap tanda-tanda adanya masalah dan konflik pribadi, bila hal ini terjadi
sesegera mungkin mencari bantuan atau melakukan konsultasi profesional untuk
dapat kembali menjalankan pekerjaannya secara profesional. Psikolog dan/ atau
Ilmuwan Psikologi harus menentukan akan membatasi, menangguhkan, atau
menghentikan kewajiban layanan psikologi tersebut.
Pasal 12
Pemberian Layanan Psikologi dalam
Keadaan Darurat
(1) Keadaan darurat adalah suatu kondisi dimana layanan kesehatan mental
dan/ atau psikologi secara mendesak dibutuhkan tetapi tidak tersedia tenaga
Psikolog dan/ atau Ilmuwan Psikologi yang memiliki kompetensi untuk memberikan
layanan psikologi yang dibutuhkan.
(2) Dalam kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kebutuhan yang ada
tetap harus dilayani. Karenanya Psikolog dan/ atau Ilmuwan Psikologi yang belum
memiliki kompetensi dalam bidang tersebut dapat memberikan layanan psikologi
untuk memastikan bahwa kebutuhan layanan psikologi tersebut tidak ditolak.
(3) Selama memberikan layanan psikologi dalam keadan darurat, Psikolog
dan/ atau Ilmuwan Psikologi yang belum memiliki kompetensi yang dibutuhkan
perlu segera mencari psikolog yang kompeten untuk mensupervisi atau melanjutkan
pemberian layanan psikologi tersebut.
(4) Apabila Psikolog dan/ atau Ilmuwan Psikologi yang lebih kompeten
telah tersedia atau kondisi darurat telah selesai, maka pemberian layanan
psikologi tersebut harus dialihkan kepada yang lebih kompeten atau dihentikan
segera
BAB IV HUBUNGAN ANTAR MANUSIA
Pasal 13
Sikap Profesional
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dalam memberikan layanan
psikologi, baik yang bersifat perorangan, kelompok, lembaga atau
organisasi/institusi, harus sesuai dengan keahlian dan kewe-nangannya serta
berkewajiban untuk:
a) Mengutamakan dasar-dasar profesional
b) Memberikan layanan kepada semua pihak yang membutuhkannya.
c) Melindungi pemakai layanan psikologi dari akibat yang
merugikan sebagai dampak la-yanan psikologi yang diterimanya.
d) Mengutamakan ketidak berpihakan dalam kepentingan pemakai
layanan psikologi serta pihak-pihak yang terkait dalam pem-berian pelayanan
tersebut.
e) Dalam hal pemakai
layanan psikologi menghadapi kemungkinan akan terkena dampak negatif yang tidak
dapat dihindari
akibat pemberian layanan psikologi yang dilakukan oleh
Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi maka pemakai layanan psikologi tersebut
harus diberitahu.
sumber :
- American Psychological Association. 1994. Ethical principles of psychologists and code of conduct. Washington, DC. American Psychological Association.
- Himpunan psikologi Indonesia. 2010. Kode etik psikologi Indonesia. Diakses pada tanggal 14 Juni 2014 http://splashurl.com/mcoraor
Opmerkings
Plaas 'n opmerking